Permasalahan Gizi

Angka kejadian keracunan makanan, sebagai salah satu manifestasi Penyakit Bawaan Makanan (PBM) dapat menjadi indikator situasi keamanan pangan di Indonesia. Badan POM (2005) melaporkan bahwa selama tahun 2004, terdapat 152 KLB keracunan pangan, sebanyak 7295 orang mengalami keracunan makanan, 45 orang diantaranya meninggal dunia. Badan kesehatan dunia (WHO, 1998) memperkirakan bahwa rasio antara kejadian keracunan yang dilaporkan dengan kejadian yang terjadi sesungguhnya di masyarakat adalah 1:10 untuk negara maju dan 1:25 untuk negara berkembang. Jika merujuk pada asumsi WHO di atas, kemungkinan yang terjadi sesungguhnya di Indonesia pada tahun 2004 adalah sekitar 180-ribuan orang mengalami keracunan makanan dan seribu orang diantaranya meninggal dunia. Situasi ini sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia, selain berdampak langsung terhadap masalah kesehatan, kondisi ini juga mempengaruhi aspek-aspek sosio-ekonomi lainnya. Keamanan Pangan dan Gizi Buruk Diare, sebagai salah satu gejala utama PBM dapat menyebabkan gizi buruk melalui mekanisme kehilangan cairan (dehidrasi) dan ketidakseimbangan cairan elektrolit tubuh selama diare berlangsung. Selain itu diare juga mempengaruhi proses penyerapan zat-zat gizi/malabsorbsi, yang dapat menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi dan gangguan pertumbuhan. Efek kumulatif dari diare yang dialami anak terlihat jelas satu atau dua kali diare memang tidak membahayakan nyawa, tetapi sakit diare yang dialami anak secara berulang-ulang dapat menghambat pertumbuhan dan bahkan perkembangan mental anak. Karena itu tingginya angka diare ini dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa datang. Untuk itu masalah keamanan pangan merupakan salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam upaya menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk menjamin ketahanan pangan bagi penduduknya. Indikator ketahanan pangan juga menggambarkan kondisi yang cukup baik. Akan tetapi masih banyak penduduk Indonesia yang belum mendapatkan kebutuhan pangan  yang mencukupi. Sekitar tiga puluh persen rumah tangga mengatakan bahwa konsumsi mereka masih berada dibawah kebutuhan konsumsi yang semestinya. Lebih dari seperempat anak usia dibawah 5 tahun memiliki berat badan dibawah standar, dimana 8 % berada dalam kondisi sangat buruk. Bahkan sebelum krisis, sekitar 42% anak dibawah umur 5 tahun mengalami gejala terhambatnya pertumbuhan (kerdil); suatu indikator jangka panjang yang cukup baik untuk mengukur kekurangan gizi. Gizi yang buruk dapat menghambat pertumbuhan anak secara normal, membahayakan kesehatan ibu dan mengurangi produktivitas angkatan kerja. Ini juga mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit pada penduduk yang berada pada kondisi kesehatan yang buruk dan dalam kemiskinan.

Berdasarkan data Departemen Kesehatan, secara nasional terdapat sekitar 27,5% (5 juta) anak balita menderita gizi kurang, 1,5 juta anak di antaranya memiliki status gizi buruk; dan 110 kabupaten/kota mempunyai prevalensi balita gizi kurang (termasuk gizi buruk) di atas 30%. Menurut WHO, prevalensi gizi buruk Indonesia termasuk dalam kategori sangat tinggi (Departemen Kesehatan 2005).

Alternatif kebijakan penanggulangan rawan pangan dan gizi kronis adalah dengan meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan dan mendorong tumbuhnya aktivitas perekonomian di tingkat wilayah dan rumah tangga.

Tinggalkan komentar